21 December 2009

Mendadak Dukun

Sungguh, peristiwa yg terjadi sekitar awal November 2009 lalu itu bagiku cukup menggelikan. Waktu itu malam hari kira-kira ba’da isya’, saya diminta seorang teman, namanya Akh Agung, menemaninya pergi ke lembaga Even Organizer milik sebuah perusahaan otomotif di Jambi yang berkantor di daerah The Hok. Adapun tujuannya adalah untuk ‘menuntut hak’ yang belum terpenuhi (baca: menagih utang).

Beberapa waktu sebelumnya lembaga tersebut mengadakan sebuah acara yang salah satu pengisi acaranya adalah Akh Agung ini. Karena kewajiban beliau udah dilaksanakan, sementara honornya belum dibayar, maka wajar kalau dia ‘menuntut’. Sebenarnya usaha ini sudah dilakukan beberapa kali, tapi selalu saja pihak EO tsb selalu minta tenggang waktu pembayaran.

Sebelum berangkat, akh Agung bilang, “Mas, lagi ada kerjaan dak? Kalo idak, temani ane ke The Hok ya...”

Karena waktu itu saya sedang tidak ada yang harus saya kerjaan, saya jawab, “Oke...”

Maka jadilah saya ‘bodyguard’ beliau. Kebetulan ketika pergi saya memakai pakaian yang tidak biasa, yaitu peci hitam, kacamata berbingkai tebal, baju khas jawa dengan motif bergaris-garis. Tak lupa pula jaket dan celana panjang hitam komprang yang biasa dipakai para pendekar silat. Kalo dilihat sebenarnya lebih mirip penampilan orang yang udah tua. Sebenarnya maksud saya memakai pakaian itu biar nyaman aja. Tapi dari situlah sebab awal dari cerita lucu ini.

Sampai di tempat tujuan kami disambut dengan ramah oleh seseorang yg bernama M, dia ini koordinatornya EO. Ternyata dia orang jawa. Melihat pakaian yang saya kenakan, diapun tahu kalo saya orang jawa. Maka kamipun ngobrol dengan bahasa jawa.

Tanpa saya duga, Si M ini bertanya, “Lek.... (halah, kok saya dipanggil Pak Lek pula), sampeyan iso ndelok makhluk halus opo ora? nek ndelok seko penampilane, sampeyan iki iso.Opo maneh jenggote sampeyan wes dawa kaya ngono...” (Lek... bisa ngelihat makhluk halus nggak? sepertinya kalo dilihat dari penampilannya, anda ini bisa, apalagi jenggotnya udah panjang kayak gitu...”).

Wah, rupanya hanya dengan melihat pakaian dan jenggot saya, Si M ini udah menyimpulkan kalo saya ini sebangsa dukun atau paranormal. Tapi dari pertanyaannya itulah, sifat asli saya yang usil dan gokil muncul. Sayapun menjawab, “Iso... lha wong bangsane lelembut kuwi kancaku kok...” (=Bisa... makhluk halus itu memang teman saya kok). Dan sayapun mulai merubah sikap dengan sok berwibawa. Suara saya bikin lebih besar dan pandangan mata yang dingin dan tajam. Rupanya Si M ini mulai percaya kalo saya bisa melihat makhluk halus (padahal cuma bo’ong).

“Coba Lek, deloken neng kamar nduwur kono kae, kiro-kiro ono makhluk haluse opo ora. Kanca-kancaku pada ora ono sing wani turu neng nduwur, soale ono sing wes tau diweruhi kaya pocongan.” Tanya Si M (=coba Lek, lihatin kamar atas di sana, kira-kira ada makhluk halusnya apa tidak. Teman-temanku gak ada yang berani tidur di kamar atas, soalnya ada yang pernah lihat penampakan seperti hantu pocong). Menurut cerita M, dulu ada salah seorang personilnya yang tewas dalam sebuah kecelakaan. Dan arwahnya sering menampakkan diri.

Sebenarnya saat itu saya mau ketawa ngakak, tapi benar-benar saya tahan. Sementara Akh Agung ngobrol mengenai urusannya di ruang bawah, untuk melengkapi sandiwara, sayapun naik ke kamar atas. Ruangan kantor ini memiliki dua lantai yang dihubungkan dengan tangga. Sebagai seorang mukmin, untuk urusan seperti ini saya tidak takut. Dengan bismillah, ternyata di ruang kamar atas tidak ada apa-apa. Hanya ada beberapa spanduk kegiatan yang teronggok di lantai dan sebuah lampu dengan cahaya yang redup. Sepertinya kamar ini memang jarang digunakan. Mungkin hanya siang hari saja mereka berani ke atas.

Setelah saya turun kembali, saya pun di tanya lagi, “Kepiye Lek, ono ora...?” (=gimana Lek, ada nggak).

“Iyo, memang ono”(=iya, memang ada) saya bilang. Saya ngomong gitu karena saya yakin, dimanapun ada manusia, disitu biasanya ada setan.

“Akeh ora...?” (=banyak nggak).

“Ya ada beberapa lah”.

“Tapi nggak apa-apa kan Lek ?”

“Yo pokokke sing pada ngati-ati wae...” (=yang penting pada berhati-hati sajalah). Jawaban saya ini rupanya semakin menambah Si M ini Cemas. Dia pun tanya lagi, “ Kalo di ruangan ini ada nggak Lek?”

“Kalo di sini malah lebih banyak.”

“Wah lha kok malah nakut-nakuti gitu Lek....?”

“Lha iyya.... namanya juga setan. Semakin banyak orangnya di sini, semakin banyak setannya dong. Setan ‘kan tugasnya memang mengoda manusia.” Kata saya.

Tapi saya sempat berpesan,”Sebenarnya tidak apa-apa, asal kalian bisa jaga diri. Misalnya bagi yang muslim ya menjalankan kewajibannya, seperti sholat dan baca Qur’an.” Nah, disinilah sedikit saya masukkan materi dakwah. Dan Si M pun tampaknya setuju.

Si M juga nanya, “Kalian berdua ini apa kawan satu daerah..? yang dimaksud adalah saya dan Akh Agung.

“Enggak, “ saya bilang, “Cuma kawan seperguruan....”

“Wah, kalo seperti ini memang berat (tingkatannya)“ komentarnya. Rupanya Si M ini mengartikan kata ‘seperguruan’ adalah dalam ilmu kebatinan atau semacam perguruan silat. Padahal yang saya maksud adalah Perguruan Tinggi. Karena kami memang dulunya kuliah di satu kampus. Lengkap sudah sandiwara saya.

Barulah ketika dalam perjalanann pulang kami berdua ketawa tanpa bisa ditahan lagi. Walaupun tujuan awal kami belum tercapai, karena ternyata pihak EO berjanji lagi mau membayar kewajibanya di akhir bulan, tapi kami mendapat pengalaman yang unik. Untuk pertama kalinya saya dikira Dukun.

Dari Abu Huroiroh Radhiallohu’anhu, Rasululloh Sholallohu’alaihi wasalam bersabda:

من ٲتی كاھنا فصدﻗﻪ بمايقول فقدكفر بماٲنزل على محمد

"Barang siapa yang mendatangi dukun, dan membenarkan apa yang ia katakan, sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.” [HR. Abu Dawud]

2 comments:

attayaya said...

jiahahahahaha
mendadak dangdut

Djoko Sableng said...
This comment has been removed by the author.

Post a Comment