31 October 2009

FITNAH

Di akhir tahiyyat dalam shalat, kita dianjurkan meminta perlindungan kepada Allah dari siksa kubur dan adzab akhirat, dari fitnah hidup, fitnah mati, dan dari fitnah Al-Masih Ad-Dajjal. Apa sesungguhnya makna fitnah dalam do’a tersebut?


Makna Satu Kata, Fitnah

Seringkali para juru dakwah menyebut-nyebut kata fitnah dalam berbagai bahasan. Seringkali pula mereka beranggapan bahwa masyarakat Indonesia sudah begitu akrab dengan kata tersebut. Padahal sesungguhnya tidaklah demikian. Berbagai realitas menunjukkan bahwa ada kesalahpahaman besar seputar pemaknaan kata tersebut di tengah masyarakat kita, saat kata itu diucapkan oleh juru dakwah. Pasalnya, kata tersebut berbeda makna dalam bahasa kita, Indonesia, dibandingkan dengan makna kata itu dalam bahasa Arab. Sementara yang kerap disampaikan para juru dakwah adalah makna kata itu dalam bahasa Arab.

Dalam bahasa Indonesia, kata fitnah seperti disebutkan dalam banyak kamus bahasa Indonesia adalah: menuduh tanpa bukti. Dalam bahasa Arab hal itu disebut buhtaan. Seperti disebutkan dalam hadits tentang ghibah.

Sehingga ketika seorang juru dakwah mengatakan, ”Seorang pria muslim tidak boleh berduaan dengan seorang wanita muslimah yang bukan mahramnya, karena dikhawatirkan terjadi fitnah...” Kebanyakan masyarakat Indonesia akan memahaminya,’...khawatir mereka berdua akan difitnah. Yakni dituduh berbuat mesum, dan sejenisnya.’ Padahal yang dimaksud oleh juru dakwah tadi adalah,’...khawatir akan terjadi bencana. Yakni bencana maksiat, mulai dari yang paling ringan, hingga perzinaan.

Makna Fitnah Dalam Al-Quran dan As-Sunnah

Dalam Al-Quran, hadits-hadits Nabi dan istilah Islam sendiri, fitnah memiliki banyak makna. Makna kata itu dalam satu ayat terkadang sangat berbeda dengan maknanya dalam ayat lain.

A. Fitnah, Bemakna Kekafiran atau Kemusyrikan

Seperti dalam Firman Allah:

”Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, ’Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar’, tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjid Al-Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh.” (Al-Baqarah:217)

”Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga)ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zholim.” (Al-Baqarah: 193)

Kata fitnah di sini menurut para ulama ahli tafsir adalah ’kekafiran’ atau ’kemusyrikan’. Yakni bahwa mereka itu menyebarkan kekafiran. Sementara sebagian kaum muslimin -karena belum diberi tahu oleh Nabi- melakukan kekeliruan dengan memerangi kaum musyrik di bulan suci. Perbuatan mereka itu keliru, dalam arti tidak pantas. Tapi kekafiran kaum musyrik itu lebih besar bahayanya daripada kekeliruan berperang di bulan suci. Itulah makna yang jelas dari ayat tersebut.

Tapi semenjak dahulu, umumnya para juru dakwah di tanah air, saat menyampaikan ayat ini, tidak menjelaskan kata fitnah dalam ayat. Sehingga kebanyakan masyarakat Islam, meng-identik-kan makna fitnah tersebut, seperti dalam kosa kata bahasa kita, yaitu menuduh tanpa bukti. Akhirnya, tersebarlah makna,”fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan,” yakni bahwa menuduh orang tanpa bukti, lebih besar dosanya daripada membunuh!

Ini jelas salah kaprah Dan karena kasus-kasus seperti ini, hendaknya para juru dakwah berhati-hati dalam menyampaikan kata-kata bahasa Arab dalam berdakwah, tanpa diterjemahkan. Karena khawatir akan timbul kesalahpahaman atau ketidakmengertian di kalangan para pendengar dakwah, yang umumnya adalah masyarakat awam yang tidak mengerti bahasa Arab.

B. Fitnah, Bermakna Musibah/Bencana

Makna ini sebagaimana terdapat dalam sabda Nabi Shalallahu’alaihi wasalam:

”Apabila datang kepada kalian seseorang pemuda yang kalian sukai agama dan akhlaqnya, maka nikahkanlah dia dengan putri kalian. Kalau tidak, akan terjadi fitnah (bencana) dan kerusakan yang besar di muka bumi.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan beliau berkata: ”Hadits ini hasan.”)

C. Fitnah, Bermakna Konflik

”Dialah yang menurunkan Kitab(Al-Quran) kepada kamu. Diantara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al-Quran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah...”(Ali Imran: 7)

Ada di antara sebagian orang Islam yang men-dewa-kan rasio/akal, dimana mereka gemar mencari penafsiran ayat melalui logika, sehingga melenceng dari tafsir yang sesungguhnya. Tujuan mereka semata-mata menyebar fitnah, yakni menimbulkan konflik dan perselisihan dengan sesama muslim.

D. Fitnah, Bermakna Kedustaan

”Kemudian tiadalah fitnah mereka, kecuali mengatakan, ”Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah.” (Al-An’aam: 23)

Fitnah yang dimaksud dalam ayat ini adalah ucapan orang-orang musyrik yang berlumur kedustaan untuk membela diri mereka di hadapan Allah. Padahal Allah mengetahui hakikat mereka dan apa yang tersembunyi dalam hati mereka.

E. Fitnah, Bermakna Kebinasaan

”Di antara mereka ada yang berkata, ’Berilah saya izin (tidak pergi berperang), dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus ke dalam fitnah.’ Ketahuilah, bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah. Dan sesungguhnya Jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir.” (At-Taubah: 49)

Yakni bahwa kaum munafik di masa Nabi menganggap bahwa berperang bersama Nabi akan membawa kepada kebinasaan semata. Padahal, sesungguhnya mereka sudah berada dalam kebinasaan itu sendiri. Yakni dalam kemunafikan, yang akan membinasakan diri mereka di akhirat kelak.

F. Fitnah, Bermakna Korban Kezholiman

”Lalu mereka berkata,’Kepada Allah-lah kami bertawakal. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami sasaran fitnah bagi kaum yang zholim.”(Yunus: 85)

Yakni do’a orang kaum beriman, agar mereka tidak dijadikan sebagai sasaran kezholiman, kesewenang-wenangan orang-orang yang suka berbuat zholim.

G. Fitnah, Bermakna Gangguan

”Dan di antara manusia ada orang yang berkata,’Kami beriman kepada Allah’, Maka apabila ia disakiti (karena ia beriman) kepada Allah, ia menganggap fitnah manusia itu sebagai azab Allah.....” (Al-Ankabut: 10)

H. Fitnah, Bermakna Godaan

Ini termasuk makna fitnah yang sering digunakan dalam bahasa syariat. Fitnah kaum wanita, yakni godaan mereka. Seperti diperingatkan oleh Nabi Shalallahu’alaihi wasalam:

”Peliharalah diri kalian dari bahaya dunia dan wanita. Karena fitnah(bencana) yang pertama kali menimpa Bani Israil adalah wanita.”

(Diriwayatkan oleh Muslim IV: 2089, oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya III: 99 dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya VIII: 15)


Dalam hadits ini, Nabi juga menegaskan bahwa godaan (fitnah) terberat bagi kaum lelaki adalah wanita. (...memang betul...!!!)

Yakni bahwa wanita secara fithrah memang memiliki aurat yang menggoda kaum pria. Oleh sebab itu, Islam memerintahkan kaum wanita muslimah agar mengenakan hijab yang menutupi sekujur auratnya, agar setidaknya dapat meminimalisir aura fitnah atau godaan yang memancar dari dirinya.

Semua pemaparan di atas menggambarkan bahwa kata fitnah yang disebutkan dalam banyak ayat Al-Quran dan Hadits, memiliki makna yang beragam. Namun intinya bahwa fitnah dalam bahasa syariat selalu terkait dengan sesuatu yang harus dihindari atau sesuatu yang membahayakan. Godaan, gangguan, musibah, bencana, kekafiran, atau konflik, kesemuanya adalah hal-hal buruk yang berbahaya, dan harus dihindari oleh setiap muslim dan muslimah. Maka disebutlah semua itu sebagai FINAH.


اللهم إني أعوذبك من عذاب جهنم ومن عذاب القبر ومن فتبة المحيا والممات ومن شر فتنة المسيح الدجال


"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksa neraka Jahannam, siksa kubur, fitnah kehidupan dan fitnah setelah mati, serta dari kejahatan fitnah al-Masih ad-Dajjal."

[HR. Muslim no.588(128) dari Abu Hurairah)


Sumber: Majalah NIKAH Vol. 7 No.3, Juni-Juli 2008 dengan sedikit perubahan.

29 October 2009

MeNjaGa AmaNaH

Sifat amanah merupakan pondasi penting dalam pergaulan sesama manusia. Semua sisi pergaulan (mu’amalah) tak luput dari sifat amanah. Tidak lagi diperdebatkan bahwa menjaga amanah merupakan budi pekerti luhur. Amanah itu sendiri termasuk sifat universal. Artinya sifat ini diterima semua pihak. Allah memasukkannya sebagai bagian karakter yang menonjol pada seorang mukmin hakiki.

Allah Berfirman:

”Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang dipikulnya) dan janjinya. (al-Mu’minun/23:8).


Pengertiannya, bila seseorang diberi amanah, maka ia tidak mengkhianati, dan apabila berjanji tidak melanggarnya. Demikian ini merupakan sifat orang beriman, yang bertolak belakangdengan kebiasaan urang munafik. Sebagaimana tertuang dalam hadits shahih:


آية المنا فق ثلاث : إذا حدث كذب وإذا وعد أخلف وإذا اؤتمن خاك

”Tanda kemunafikan ada tiga; apabila berkata, ia dusta: apabila berjanji, ia mengingkari; apabila diberi amanah, ia berkhianat.” (HR. Muslim, no. 107)

Oleh karena itu, untuk membangun karakter yang baik ini, Allah dan Rasul-Nya mengeluarkan perintah supaya kaum Muslimin menunaikan semua amanah yang diembannya, dan memperingatkannya dari berbuat khianat dalam bentuk apapun.

Allah berfirman:

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia, supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baik kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat."

(an-Nisa’/4:58)


Allah Berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kalian mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepada kalian, sedang kalian mengetahui."

(al-Anfaal/8:27)


Adapun perintah Rasulullah yang menunjukkan mulianya sifat amanah ini, nampak dari larangan Rasulullah terhadap kaum Muslimin agar tidak berkhianat, meskipun kita pernah dikhianati.

Rasulullah Bersabda:


أد الأمانة إلى من ائتمنك ولا تخن من خانك

”Tunaikanlah amanah kepada siapa yang telah menyerahkan amanah kepadamu. Dan janganlah engkau mengkhianati orang yang pernah berlaku khianat kepadamu. (HR. Abu Dawud 3535; at-Tirmidzi 1264, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah, 424).

Menurut Imam Ibnu Katsir, pengertian secara umum pelaksanaan amanah dalam ayat di atas, ialah mencakup seluruh amanah yang wajib dipenuhi oleh seorang muslim. Yakni berupa hak-hak Allahyang menjadi kewajiban atas dirinya, seperti shalat, zakat, puasa, kaffarah, nadzar, dan lainnya. Atau hak-hak sesama manusia yang dipercayakan kepadanya, semisal barang titipan, meskopun tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Allah memerintahkan agar semua itu dilaksanakan. Siapapun yang tidak menjalankannya di dunia ini maka Allah akan mengambil hak itu dari dirinya pada hari Kiamat kelak.


Sumber: Majalah As-Sunnah, Edisi Ramadhan (06-07)/Tahun XI/1428H/2007

14 October 2009

Cuma Copy-Paste

Hmm... Udah dua pekan sepulang dari Tanah Jawa ane gak ngeBlog. Ternyata dah banyak perkembangan di Dunia Maya. mau nulis masih males, jadi di bawah ini saya copaskan aja postingan dari blognya Mas Bahrun yg menurut saya layak tuk jadi bahan renungan:

HUKUM MENONTON BIOSKOP

Hukum menonton di bioskop harus dilihat tidak hanya aktifitas menonton semata, namun juga aktifitas lain yaitu ikhtilath (bercampurnya pria/wanita).

Ikhtilath menurut bahasa adalah :

1.) bercampurnya sesuatu dengan sesuatu. (Lihat Lisānul ‘Arab 9/161-162). Adapun menurut istilah adalah bercampur baur antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram pada suatu tempat. (Lihat Al-Mufashal fī Ahkāmil Mar’ah: 3/421)

2.) ikhtilath lain bisa diartikan sebagai berdesak-desakan. Hanzah bin Abu Usaid Al-Anshari yang menceritakan kisah yang bersumber dari bapaknya, “Dia mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda di saat beliau keluar dari masjid, sedangkan para lelaki dan wanita berikhtilath (bercampur baur) di jalan. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, ‘Minggirlah kamu, karena sesungguhnya kamu tidak berhak berjalan di tengah jalan, kamu wajib berjalan di pinggir jalan’. Maka para wanita itu merapat di tembok/ dinding sampai baju mereka terkait di tembok karena saking rapatnya.” (Riwayat Abu Daud)


Hukum Ikhtilat yang digunakan untuk kesehatan, pendidikan, pasar, dll adalah sekedarnya (diminalisir/ma'fu) dalam keadaan yang sangat mendesak/darurat.

Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang mengatakan boleh ikhtilath disekolah-sekolah dan yang lainnya dengan alasan bahwa perintah berhijab hanya khusus untuk isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka perbuatan ini jauh dari petunjuk serta menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah yang telah menunjukkan hukum hijab berlaku umum, sebagaimana firman-Nya: “Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 10).

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata: “Sesungguhnya tidak boleh bagi setiap orang laki-laki dan perempuan untuk belajar di sekolah-sekolah yang terjadi iktilath didalamnya, disebabkan karena bahaya yang besar yang akan mengancam kesucian dan akhlak mereka. Tidak ada keraguan bahwa orang yang bagaimana pun sucinya dan mempunyai akhlak yang tinggi, bagaimana jika disamping tempat duduknya ada perempuan, terlebih lagi bila perempuan itu cantik lalu menampakkan kecantikannya maka sangatlah sedikit yang bisa selamat dari fitnah dan kerusakan. Oleh karena itu segala yang membawa kepada kerusakan dan fitnah adalah haram.” (Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 23).

Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Adapun ikhtilath antara laki-laki dan perempuan di tempat kerja atau instansi-instansi sedang mereka adalah kaum muslimin, maka hukumnya haram dan wajib bagi yang memiliki wewenang di tempat tersebut untuk memisahkan tempat (ruangan) antara laki-laki dan perempuan. Sebab ikhtilath terdapat kerusakan yang tidak samar lagi bagi seorang pun.” (Fatawa Hai’ah Kibaru Ulama: 2/613 dan Fatawa Ulama Baladi Haram, hal. 532).

Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “Perempuan yang keluar dari rumahnya merupakan perkara yang menyelisihi hukum asal. Dan masuknya mereka di rumah sakit yang di dalamnya ada campur baur antara laki-laki dan perempuan merupakan ikhtilath yang tidak diperbolehkan didalam Islam. Seandainya ada rumah sakit khusus untuk wanita, para pekerjanya juga wanita, begitu pula pasien dan para perawatnya. Seharusnya memang negeri-negeri Islam ada rumah sakit yang seperti itu, yang mana para wanita secara khusus yang mengurusinya, baik dokter, direktur, para pekerjanya dan yang semisalnya. Adapun apabila rumah sakitnya ada ikhtilath, maka kami nasehatkan agar wanita muslimah yang beriman kepada Rabbnya agar bertaqwa kepada Allah dan hendaknya ia tetap tinggal dirumahnya.” (Al-Hawi min Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 75).

- Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Bekerjanya perempuan ditempat yang terdapat laki-laki di dalamnya adalah perkara yang sangat berbahaya. Dan diantara penyebab terbesar adalah munculnya kerusakan yang disebabkan karena ikhtilath yang mana hal itu merupakan jalan-jalan yang paling banyak menyebabkan terjadinya perzinahan.” (Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 44).

Diantara syubhat yang paling masyhur adalah:

“Syari’at tentang perintah untuk meninggalkan ikhtilath hanya cocok diterapkan di Negara Saudi Arabia adapun Negara selain Saudi Arabia tidaklah cocok karena menyelisihi adat kebiasaan, begitu pula syari’at atau suatu hukum akan mengalami perubahan seiring dengan perubahan zaman dan situasi, lagi pula di dalam Islam ada kaidah tetap yaitu: “Al-Qur’an berjalan diatas bimbingan-bimbingannya disesuaikan dengan zaman dan kondisi. Dan hukum-hukumnya disesuaikan dengan kebiasaan dan adat istiadat.”

Jawaban atas syubhat ini:

Perlu diketahui bahwa qaidah tersebut telah disebutkan oleh Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di –rahimahullah- di dalam kitabnya “Al-Qawa’idul Hisān fii Tafsiril Qur’an" pada qaidah yang ke-21, kemudian beliau rahimahullah- memberikan penjelasan terhadap qaidah tersebut. Dan ternyata apa yang dijelaskan oleh beliau rahimahullah- sangat bertentangan dengan apa yang telah di nyatakan oleh shahib (pemilik) syubhat ini, beliau –rahimahullah- berkata: “Ini adalah qaidah yang besar lagi kokoh, qaidah yang agung lagi bermanfaat, maka sesungguhnya Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya dengan kebaikan. Dan perintah (Allah) itu adalah apa-apa yang dikenal kebaikannya, menurut syari’at, akal dan menurut kebiasaan. Dan Allah telah melarang mereka dari kemungkaran dan setiap larangan adalah apa-apa yang tampak keburukannya menurut syari’at, akal maupun menurut kebiasaan. Dan Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin dengan perintah kepada kebaikan dan larangan dari kemungkaran, dan Allah wasiatkan mereka dengan yang demikian itu.” (Al-Qawa’idul Hisān fii Tafsiril Qur’an, hal. 41).

Qaidah tersebut memiliki keterkaitan dengan qaidah: “Agama dibangun diatas maslahat (kebaikan), di dalamnya mendatangkan kebaikan dan menolak mafsadah (kerusakan).”

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dirahimahullah- berkata: “(Qaidah) Ini adalah pokok yang besar, qaidah umum, yang masuk di dalamnya agama seluruhnya. Semuanya itu dibangun untuk menghasilkan kemaslahatan dunia dan akhirat. Dan dibangun untuk menolak kemudharatan dalam agama, dunia dan akhirat. Tidaklah Allah memerintahkan sesuatu kecuali di dalamnya terdapat kemaslahatan yang tidak diliputi dengannya pensifatan. Dan tidaklah Allah melarang sesuatu kecuali di dalamnya terdapat mafsadah yang tidak di liputi dengannya pensifatan.” (Al-Qawā’idul Fiqhiyyah līfahmin Nushūs Asy Syar’iyyah, hal. 17-18).

Maka jelaslah, bahwa apa yang Allah –‘azza wa jalla- dan Rasul-Nya perintahkan baik itu perintah untuk meninggalkan ikhtilath atau pun yang selainnya, merupakan hukum yang mencocoki akal dan kebiasaan sebagaimana persaksian wanita berkebangsaan Prancis yang dia berprofesi sebagai wartawan, ia menuturkan: “Saya mendapati wanita muslimah Arab sangat dihormati dirumahnya dari pada wanita Eropa. Dan saya sangat yakin bahwa seorang isteri dan ibu dari mereka sangat bahagia melebihi kebahagian kami.” (Al-Mar’ah Baina Takrimil Islam wa Da’awi Tahrir, hal. 29).

Dan siapa yang menyatakan atau memiliki anggapan bahwa hukum Islam tidak cocok untuk diterapkan di selain negara Saudi Arabia maka dia telah menyelisihi realita dan telah membuat-buat kedustaan, dan kalaulah apabila dimaksudkan dengan pernyataan tersebut untuk menghina Negara Saudi Arabia maka di khawatirkan akan terjatuh kedalam kehinaan.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah- berkata: “Kalau seandainya celaan itu muncul dari musuh-musuh Islam yang berusaha untuk menghancurkan negeri yang sekarang menjadi benteng Islam, maka itu dianggap ringan dan tidak aneh. Tetapi apabila muncul dari orang-orang yang mengaku muslim yang tertipu dengan kemajuan teknologi negeri-negeri kafir sehingga mereka tertipu dengan akhlak yang mengeluarkan mereka dari keutamaan menuju kehinaan, keadaan mereka ini sebagaimana dinyatakan oleh Al-Imam Ibnu Qayyim –rahimahullah- di dalam Nuniyah-nya:

Mereka lari dari kebebasan tujuan hidup mereka
Menuju kebebasan mengikuti hawa nafsu dan syaithan.
Mereka menyangka negeri-negeri kafir itu maju disebabkan kebebasan ini.
Semua itu tidak lain karena kejahilan mereka terhadap syari’at Islam dan keindahan-keindahan yang terkandung di dalamnya.
Kita memohon kepada Allah agar memberikan hidayah kepada kita dan mereka semua menuju kebaikan dunia dan akhirat.” (Fiqh Nawazil: 3/369).


Dan apabila ada lagi yang memiliki anggapan bahwa syari’at untuk menjauhi ikhtilath itu khusus hanya untuk Negara Saudi Arabia maka semakin jelas ini adalah anggapan yang benar-benar salah, karena syari’at Islam itu berlaku untuk semua umat.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaiminrahimahullah- berkata: “Al-Qur’an Karim adalah sumber syari’at Islam yang Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- diutus dengannya kepada manusia seluruhnya, Allah –‘azza wa jalla- berfirman: “Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (Al-Furqan: 1).

(“Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya yang terang benderang dengan izin Rabb mereka, (yaitu) menuju jalan Rabb Yang Maha Terpuji. Allah yang memiliki segala apa yang di langit dan di bumi. Dan celakalah bagi orang-orang yang kafir karena siksaan yang pedih.”
(Ibrāhīm: 1-2). (Ushūl fittafsīr, hal. 7).

Syari’at Islam walaupun diturunkan di Negara Saudi Arabia bukan berarti khusus untuk Negara Saudi Arab namun syari’at tersebut tujuannya mencakup pula untuk semua Negara selain Saudi Arabia, hal ini sesuai dengan qaidah tetap dalam Islam: “Letak pelajaran adalah pada keumuman lafazh bukan pada kekhususan sebab.”

Asy-Syaikh Muhammad bin Shālih Al-Utsaimīn rahimahullah- berkata: “Jika turun ayat dengan sebab yang khusus dan lafazhnya umum, maka hukum yang mencakup sebab turunnya ayat tersebut dan mencakup pula semua perkara yang tercakup dalam makna lafazhnya. Karena Al-Quràn turun dengan syari’at yang umum mencakup semua umat, sehingga letak pelajaran adalah pada keumuman lafazh bukan pada kekhususan sebab.” (Ushūl fit Tafīr, hal. 13).

Maka siapa saja yang enggan dan tidak mau mengambil pelajaran dari syari’at Allah atau berpaling darinya maka hendaklah ia memperhatikan dan merenungi firman Allah ini:

“Dan bacakanlah kepada mereka orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami, kemudian dia berlepas diri dari ayat-ayat itu, lalu di ikuti oleh syaithan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang sesat. Dan kalau Kami menhendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaanya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkan lidahnya dan jika kamu biarkan dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri sendirilah mereka berbuat zhalim.”
(Al-A’rāf: 175-176).

Semoga Allah senantiasa melimpahkan taufiq dan inayah-Nya kepada kita, sehingga kita mampu menapaki jalan kebenaran dan menjauhkan diri dari setiap larangan-Nya.

Wallahu A’lam bish Shawab.


Kesimpulan :
1. Menonton Bioskop mengundang perkara ikhtilath (karena fakta tidak ada bioskop yang dipisahkan).
2. Menonton bioskop bukan perkara dharurat sehingga tetap tidak diperbolehkan ikhtilath.
3. Lebih baik beli CDnya, nonton bersama istri, anak (mahrom).


Sumber:http://revolusidamai.multiply.com/journal/item/453/Hukum_Menonton_Bioskop_